Khalifah pertama
Terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah terjadi dalam keadaan yang sangat krusial. Momen itu berlangsung dua hari pasca-wafatnya Nabi SAW. Ketika itu, kaum Anshar berkumpul di balai pertemuan (tsaqifah) Bani Sa’idah. Mereka menginginkan Sa’ad bin Ubadah, seorang tokoh Anshar, sebagai pengganti kepemimpinan (khalifah) sosial-politik umat.
Berita tentang rapat di Tsaqifah Bani Sa’idah sampai ke telinga Umar bin Khattab. Maka berangkatlah al-Faruq bersama Abu Bakar dan Abu Ubaidillah bin Jarrah ke sana. Sesampainya di lokasi, kehadiran mereka bertiga mengubah jalannya pembicaraan.
Abu Bakar lalu menyampaikan kepada hadirin perihal golongan yang berhak menjadi khalifah, yakni kalangan Suku Quraisy. Ia bersandar pada hadis Nabi SAW, antara lain, yang diriwayatkan Abu Hurairah sebagai berikut.
Rasulullah SAW bersabda, “Manusia itu dalam urusan ini menjadi pengikut kaum Quraisy. Orang Muslim dari mereka mengikuti Muslim Quraisy, demikian pula orang kafir mereka mengikuti orang yang kafir dari kaum Quraisy” (HR Bukhari dan Muslim).
Sejak era pra-Islam, Quraisy memang menduduki posisi atas dalam struktur sosial masyarakat Arab. Mereka pula adalah penduduk asli Tanah Suci, Makkah al-Mukarramah. Maka begitu Fath Makkah (Pembebasan Makkah), seluruh anggota dan petinggi kelompok etnis ini memeluk Islam.
Melanjutkan pidatonya, Abu Bakar menyampaikan agar Umar bin Khattab atau Abu Ubaidillah bin Jarrah yang diangkat sebagai khalifah. Bagaimanapun, usulan itu tidak ditanggapi positif. Hadirin justru terkesan dengan hadis yang baru saja dipaparkan Abu Bakar.
Ketika itulah, Umar bangkit. Saat hendak mengambil tangan Abu Bakar, sahabat yang masyhur akan sifat tegasnya itu keduluan seorang Anshar, Basyir bin Sa’ad. Lelaki dari Suku Khazraj ini terlebih dahulu menggaet tangan mertua Rasulullah SAW tersebut.
Maka Basyir dan Umar membaiat Abu Bakar sebagai pemimpin. Tindakan keduanya lantas diikuti seluruh orang yang hadir di lokasi, termasuk seorang tokoh Suku Aus Asid bin Khudair. Di satu sisi, baiat ini memang masih bersifat terbatas karena “hanya” dihadiri oleh kaum Anshar dan beberapa Muhajirin. Tidak turut serta, umpamanya, kalangan keluarga inti Rasulullah SAW atau Ahl al-Bait dan sejumlah sahabat senior, semisal Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah.
Di sisi lain, inilah momen penting yang membuat persatuan Muslimin tetap kokoh walaupun Rasulullah SAW telah tiada. Pada hari berikutnya, bertepatan dengan hari ketiga pascawafatnya Nabi SAW, baiat terbuka dilaksanakan di Masjid Nabawi. Semua orang berkumpul dan mengakui kepemimpinan Abu Bakar. Muslimin melakukannya dengan menjabat tangan sang ash-Shiddiq. Adapun kaum Muslimah menggunakan isyarat ucapan.
Setelah semua membaiat Abu Bakar, maka sang khalifah pun memberikan pidato pertamanya. Isi ceramahnya itu adalah berikut ini.
“Saudara-saudaraku, saya sudah terpilih memimpin kalian. Dan saya bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Kalau saya berlaku baik, bantulah saya. Dan kalau saya salah, maka luruskanlah saya. Kebenaran adalah suatu kepercayaan, dan dusta adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di kalangan kalian adalah kuat di mata saya. Sesudah nanti haknya nanti saya berikan kepadanya—insya Allah—dan orang yang kuat, buat saya adalah lemah sesudah haknya nanti saya ambil—insya Allah.
Apabila ada golongan yang meninggalkan perjuangan di jalan Allah, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Apabila kejahatan sudah meluas pada suatu golongan, maka Allah akan menyebarkan bencana pada mereka. Taatilah saya selama saya taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Tetapi apabila saya melanggar perintah Allah dan Rasulullah, maka gugurkanlah kesetianmu kepada saya. Laksanakanlah shalat kamu sekalian, semoga Allah memberi rahmat kepada kita semua.”
Daán yahya/Republika
Kepemimpinan ash-Shiddiq
Selama menjadi khalifah, Abu Bakar selalu memperhatikan rakyatnya. Hidupnya sangat sederhana. Tidak pernah dirinya menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi maupun keluarganya.
Pemerintahannya sangat menedalan Rasulullah SAW. Di samping itu, Abu Bakar pun tegas terhadap setiap upaya yang hendak menyimpang dari Alquran dan Sunnah Nabi SAW.
terbukti ketika di awal pemerintahannya terjadi sejumlah kekacauan dan pemberontakan. Muncul orang-orang murtad, orang yang mengaku sebagai nabi, dan para pembangkang dalam membayar zakat.
Terhadap semua bentuk pembangkangan itu, Abu Bakar bertindak tegas, memutuskan untuk menumpasnya. Ia membentuk sebelas pasukan yang masing-masing dipimpin oleh panglima perang yang tangguh, seperti Khalid bin Walid, Amr bin Ash, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Syurahbil bin Hasanah.
Dalam buku Ensiklopedi Islam disebutkan, ijtihad politik Abu Bakar tersebut membawa dampak positif bagi umat Islam. Di satu sisi, keberhasilan pasukan Islam menumpas semua jenis pembangkangan menumbuhkan kesadaran musuh-musuh Islam bahwa kekuatan militer umat Islam telah mapan.
Bahkan, banyak suku Arab yang dengan sukarela mengintegrasikan diri dengan Islam. Dan di sisi yang lain, secara internal, menguatkan jalinan ukhuwah para sahabat setelah perselisihan akibat perbedaan pandangan politik dalam penentuan khalifah pertama.
Setelah mampu menyelesaikan masalah internal umat, Abu Bakar memandang perlu membentengi teritori Islam dari ancaman dua negara adikuasa, Persia dan Bezantium. Abu Bakar berinisiatif menaklukkan Irak dan Suriah.
Penaklukan Irak di bawah pimpinan Khalid bin Walid. Dan penaklukan Suriah di bawah pimpinan tiga panglima, yaitu Amr bin Ash, Yazid bin Abu Sufyan, dan Syurahbil bin Hasanah.
Di samping melakukan ijtihad politik secara masif, Abu Bakar memberikan perhatian yang besar pada urusan sosial keagamaan. Prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan beliau pratikkan dengan meneladani kearifan Rasulullah SAW.
Dia mendirikan lembaga bait al-mal atau lembaga keuangan yang dipimpin oleh Abu Ubaidah. Juga, mendirikan lembaga peradilan yang dipimpin Umar bin Khattab.
Hasil ijtihad Abu Bakar yang hingga kini masih dirasakan umat Islam sedunia adalah pengumpulan ayat-ayat Alquran yang sebelumnya bertebaran di berbagai tempat. Upaya pengumpulan ini dilakukan setelah sang khalifah setuju dengan usulan Umar bin Khattab setelah melihat banyaknya sahabat penghafal Alquran yang gugur di medan perang.
Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW menjamin bahwa 10 orang sahabatnya akan masuk surga. Di antara mereka adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Keempat tokoh itu tercatat dalam sejarah sebagai Khulafaur Rasyidin, para pemimpin umat Islam pascawafatnya Rasulullah SAW.
Nabi SAW berpulang ke rahmatullah pada Senin waktu dhuha tanggal 12 Rabiul Awal 11 Hijriyah dalam usia 63 tahun lebih empat hari. Beliau wafat di pangkuan istrinya, Ummul Mu`minin ‘Aisyah. Seperti diceritakan ad-Darimi dalam Misykat al-Mashabih, Rasulullah SAW sebelum ruhnya yang suci dijemput malaikat maut mengulang-ulang perkataan, “Ya Allah, ampunilah aku; rahmatilah aku; dan pertemukanlah aku dengan Kekasih yang Maha Tinggi. Ya Allah, Kekasih Yang Maha Tinggi.”
Sebelum meninggal dunia, Rasul SAW tidak memberikan penegasan apa pun tentang kepemimpinan atas Muslimin apabila nanti beliau kembali kepada-Nya. Maka sesudah wafatnya Nabi SAW, umat Islam sempat gamang. Siapakah sosok yang akan memimpin mereka?
Bagaimanapun, ada pesan-pesan tersirat yang pernah ditunjukkan Nabi SAW beberapa kali terkait sosok yang layak menjadi pemimpin umat. Adapun figur yang dimaksud adalah Abu Bakar. Banyak hadis secara implisit membenarkan kualitas diri sahabat yang disebut pertama dalam daftar 10 orang yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah SAW itu. Misalnya, hadis yang diriwayatkan ‘Aisyah sebagai berikut.
Ketika Nabi SAW sakit dan penyakitnya bertambah parah beliau berkata, “Perintahkanlah Abu Bakar untuk menjadi imam shalat berjamaah.” Kemudian, ‘Aisyah menimpali, “Sungguh, Abu Bakar adalah seorang laki-laki yang halus perasaannya. Jika ia menggantikan engkau, maka ia tidak akan bisa mengimami shalat berjamaah (karena terlalu bersedih hati memikirkan Nabi SAW sakit).”
Beliau berkata lagi, “Perintahkanlah Abu Bakar untuk mengimami shalat berjamaah.”
‘Aisyah kembali mengulangi perkataannya. Untuk terakhir kalinya, Rasul SAW berkata, “Wahai 'Aisyah, perintahkanlah Abu Bakar untuk menjadi imam shalat berjamaah. Sungguh, kalian ini (kaum wanita) seperti perempuan-perempuan dalam kisah Yusuf.” Maka seorang utusan beliau mendatangi Muslimin dan menyampaikan perintah Nabi SAW bahwa Abu Bakar menjadi imam shalat berjamaah. Abu Bakar pun melaksanakannya meski ketika itu Rasulullah SAW masih hidup.
Dalam hadis lain yang juga diriwayatkan oleh ‘Aisyah, terdapat pula isyarat. Nabi SAW merestui Abu Bakar sebagai pemimpin umat sesudah beliau tidak lagi membersamai kaum Muslimin. ‘Aisyah menuturkan, “Rasulullah SAW berkata kepadaku ketika sedang sakit, ‘Panggilkan untukku Abu Bakar, ayahmu, dan saudara laki-lakimu (‘Abdurrahman). Aku ingin menulis sebuah wasiat, khawatir ada orang yang nanti berharap dan berseru, 'aku lebih berhak.' Padahal, Allah dan kaum Mukminin hanya menghendaki Abu Bakar’” (HR Bukhari).
Abu Bakar ash-Shiddiq memerintah selama dua tahun, yakni 632-634 Masehi atau 11-13 Hijriah. Sebelum berpulang ke rahmatullah, pemimpin pertama di jajaran Khulafaur Rasyidin itu sempat menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya. Penunjukan itu dilakukannya usai berdiskusi dengan sejumlah sahabat Nabi Muhammad SAW, semisal Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Sehari setelah pemakaman Abu Bakar, Umar menemui kaum Muslimin di Masjid Nabawi, Madinah al-Munawwarah. Mereka menyambutnya dengan baik dan membaiatnya. Usai itu, sahabat yang bergelar al-Faruq tersebut berdiri di atas mimbar dan hendak menyampaikan pidato.
Isi pesannya tidak jauh berbeda daripada pidato pertama Abu Bakar setelah dilantik menjadi pemimpin. Masing-masing sahabat Rasulullah SAW itu memang memiliki karakteristik yang cenderung berlainan. Yang satu masyhur akan sifatnya yang tenang dan menyukai cara-cara persuasif, sedangkan yang lain condong tegas dan bahkan keras penuh disiplin.
Bagaimanapun, keduanya adalah sama-sama sahabat utama Nabi SAW. Baik Abu Bakar maupun Umar sama-sama termasuk yang dijamin masuk surga oleh Rasul SAW. Mereka bertujuan sama, yakni menjaga akidah, meneruskan dakwah Islam, serta selalu mengutamakan kepentingan umat di atas diri pribadi.
Seperti dinukil dari buku biografi Umar bin Khattab karya Muhammad Husain Haekal (2013), berikut ini petikan pidato sang amirul mukminin.
“Saudara-saudara! Saya hanya salah seorang dari kalian. Kalau tidak karena segan menolak tawaran Khalifah (sosok pengganti kepemimpinan) Rasulullah (Abu Bakar) saya pun akan enggan memikul tanggung jawab ini. Allahumma ya Allah, saya ini sungguh keras, kasar, maka lunakkanlah hatiku.
Allahumma ya Allah saya sangat lemah, maka berikanlah kekuatan. Allahumma ya Allah saya ini kikir, jadikanlah saya orang dermawan bermurah hati.”
Sampai di sini, Umar berhenti sejenak. Saat hadirin lebih tenang, dia melanjutkan pidatonya.
“Allah telah menguji kalian dengan saya dan menguji saya dengan kalian. Sepeninggal sahabat-sahabatku, sekarang saya yang berada di tengah-tengah kalian.
Tidak ada persoalan kalian yang harus saya hadapi lalu diwakilkan kepada orang lain selain saya, dan tak ada yang tak hadir di sini lalu meninggalkan perbuatan terpuji dan amanat. Kalau mereka berbuat baik akan saya balas dengan kebaikan, tetapi kalau melakukan kejahatan terimalah bencana yang akan saya timpakan kepada mereka.”
Umar menjabat di usia sekitar 50 tahun, dengan keperkasaan dan kegiatannya sebagai pemuda yang tidak dimiliki oleh Abu Bakar. Umar berwatak keras, bertubuh kekar dan kuat, aktif dalam segala hal, jati dirinya baru menonjol setelah terjadi peristiwa-peristiwa besar dan penting dengan segala kekuatannya yang sungguh agung.
Bahkan, jati diri itu yang senantiasa menonjol. Sedapat mungkin ia ingin menangani sendiri segala persoalan kaum Muslimin, yang besar dan yang kecil, perorangan atau kelompok.
Muhammad Husain Haekal menerangkan, Umar adalah seorang teladan dalam soal kepemimpinan. Al-Faruq tidak mau hidup mewah, ia lebih suka memilih hidup sebagai orang miskin untuk ikut merasakan kehidupan mereka. Tetapi zuhudnya menjauhi kenikmatan dunia ini bukanlah menjauhi dan membenci dunia, melainkan mampu menguasai dan mengurus kepentingan duniawi.
Dengan zuhudnya itu ia sudah tidak mengenal takut selain kepada Allah, dan tidak mengharapkan dari siapa pun' selain dari Allah.
Penuh ketegasan
Umar pun dikenang sebagai pemimpin yang ketegasannya tanpa pandang bulu. Bahkan, sekalipun orang saudara seiman, kalau bersalah, maka tetap dihukum sesuai ketentuan syariat. Ada banyak kisah yang menunjukkan hal itu.
Misalnya, pernah terjadi suatu kasus yang melibatkan anak pejabat di Mesir, yaitu Muhammad Ibn 'Amr Ibn Al-'Ash, putra Gubernur Mesir, 'Amr Ibn Al-'Ash. Ketika itu seorang warga Mesir dari etnis Kristen Koptik ikut dalam pertandingan pacuan kuda yang juga diikuti oleh putra gubernur.
Karena pemuda Koptik itu berhasil mengunggulinya, putra gubernur memukul punggung pemuda itu dengan cemeti, sambil mengatakan “Khuz ha. Wa ana ibnu 'l-akramin.” (Rasakan! Saya adalah anak orang berpangkat!).
Pemuda itu lantas mengadu kepada Khalifah Umar bin Khathab di Madinah. Mendengar pengaduan itu, Umar segera memanggil gubernur dan anaknya. Apa yang terjadi? Seperti diceritakan Anas Ibn Malik yang menyaksikan langsung pengadilan itu, Umar menyerahkan tongkatnya yang terkenal itu kepada pemuda Koptik tadi seraya menyuruh pemuda tadi untuk membalas pukulan putra gubernur itu.
Setelah pemuda itu puas membalas pukulan putra gubernur, Umar selanjutnya berkata, “Ayo alihkan pukulanmu ke kepala ayahnya (maksudnya kepada gubernur). Demi Allah, anaknya memukulmu adalah karena jabatan orang tuanya ini!”
Pemuda Koptik itu berkata, “Sudah, Ya Amirul Mukminin. Saya sudah puas dan menerima hak saya.”
Kemudian Umar menoleh pada 'Amr Ibn Al 'Ash sambil berkata, “Hai 'Amr sejak kapan engkau memperbudak orang padahal mereka dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka?”
Dan kepada pemuda itu Umar berkata, “Pulanglah dengan tenang, jika ada sesuatu yang terjadi padamu, kirimkan surat segera padaku.”
Khalifah kedua umat Islam, Umar bin Khattab wafat pada tahun ke-23 Hijriyah tepatnya pada 26 Dzulhijjah.
Kepergiannya membawa duka di hati setiap Muslim. Dalam kitab Bidayah Wa Nihayah karya Imam Ibnu Katsir terdapat pembahasan tentang wafatnya Umar bin Khattab.
Wafatnya al-Faruq
Pada tahun ke-23 Hijriyah, Umar bin Khattab menunaikan ibadah haji. Itu sekaligus menjadi haji terakhir yang dilaksanakan al-Faruq. Sebab, itulah tahun wafatnya.
Pada haji terakhirnya itu, Umar bin Khattab berdoa kepada Allah SWT. Dia menyadari tentang kondisinya yang semakin tua dan lemah. Umar pun memohon pada Allah agar membawanya dan memberinya kesyahidan di negeri nabi Muhammad SAW. Allah mengabulkan permohonan Umar bin Khattab.
Seorang Majusi yakni Abu Lulu'a Fairus berdiri dan shalat Subuh bersama Umar. Dengan pisaunya dia menikam Umar bin Khatab sebanyak enam kali salah satunya di bawah pusarnya. Umar kemudian dibawa ke rumahnya dalam kondisi darah mengalir dan tak sadarkan diri.
Para sahabat kemudian membangunkan sang amirul mukminin dengan mengingatkan padanya waktu shalat. Seketika Umar pun terbangun dan mengerjakan shalat. Dia lalu menanyakan siapa yang menikamnya.
Para sahabat menjawab bahwa Abu Lulu'a bin Mughirah bin Shubah yang telah melakukannya. Umar pun bersyukur kepada Allah kematiannya tidak di tangan orang yang beriman dan ternyata si pembunuh juga tak bersujud pada Allah.
Saat dalam keadaan sakit nan parah setelah ditusuk oleh budak Persia, Umar bin Khattab sempat memberikan wasiat untuk para calon khalifah penggantinya. Salah satu yang mendapat wasiat itu adalah Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan.
Pada waktu itu, Ali dan Utsman merupakan dua dari enam orang sahabat Nabi yang menjadi calon khalifah yang dipilih oleh Umar. Sisanya yaitu Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqash, dan Abdurrahman bin Auf.
Pada waktu itu menjelang wafatnya, Umar bin Khattab menoleh kepada Ali, "Hai Ali, boleh jadi kaum itu mengaku kelebihan engkau dan hak engkau, kerabat engkau dengan Rasulullah dan kemuliaan turunan engkau di sisi Rasulullah. Mereka ketahui pula kelebihan ilmu dan faham engkau di dalam agama, lalu mereka jadikan engkau menjadi khalifah. Maka jika sekiranya hal itu kejadian dan engkau mengatur pekerjaan ini, maka takutlah engkau kepada Allah ya Ali, dan janganlah engkau beri hati bani Hasyim bersewenang-wenang menekan kepala manusia."
Setelah itu, Umar menoleh kepada Utsman dan berkata, "Hai Utsman, boleh jadi orang-orang itu mengakui kelebihan engkau sebab engkau menantu Rasulullah. Mereka mengetahui kelebihan usia engkau, lalu mereka pilih engkau menjadi khalifah. Maka jika kejadian engkau memegang pekerjaan besar ini, sekali-kali janganlah engkau beri hati kaummu bani Umaiyah menekan kuduk manusia."
Setelah Umar bin Khattab meninggal, maka kaum Muslimin, setelah melalui musyawarah, memutuskan Utsman bin Affan yang menjadi khalifahnya. Dan, Ali pun iku membai'at Utsman menjadi khalifah.
top
dok wikipedia
DOK PXHERE
DOK PXHERE
dok wikipedia
Oleh: Hasanul Rizqa